Bicara tentang Paten, maka kita tidak akan bisa melepaskan dari kontak persaingan atau dunia bisnis. Tentu saja, didalam dunia bisnis pasti ada persaingan. Nah persaingan itu sendiri didalam paten ini belum banyak dipahami oleh publik bagaimana hubungan daya saing dengan paten. Mungkin selama ini dipahami kalo poduk itu berkualitas bagus dan unggul maka daya saingnya akan lebih bagus, namun paten ini ternyata punya daya saing yang sangat menentukan sekali. Bahkan bisa menstop produk2 yang sudah ada diproduksi atau komersialkan disuatu negara. Dengan adanya paten ini maka bisa saja sebuah produsen akan ditutup, bahkan klo diajukan ke masalah hukum bisa mengganti rugi kerugian yang dialamai oleh yang punya paten. Dengan demikian daya saing yang diberikan oleh paten bukan saja bentuk pemahaman ttg produk yang berkualitas unggul, ternyata produk kita dapat bersaing pula dari segi hukumnya. Sehingga paten produk yang ada sudah memiliki perlindungan hukum secara legal ini dapat mendapat kesempatan masuk ke pasar.
Permasalahan persaingan usaha muncul ketika produk2 dari luar yang beredar telah membanjiri pasar lokal dengan harga lebih murah dan juga telah didaftarkan HKI nya. Seandainya saja, kalo diawal punya perlindngan hukum terhadap produk2 HKI kita, maka produk dari luar tsb, misal Cina, itu akan tertutup/ tidak bisa masuk di Indonesia (bahkan bisa digugat, jenis produk sama dengan produk ditanah air kita). Berdasarkan kondisi tersebut, maka sangat diperlukan suatu wadah atau lembaga yang bisa memberikan sosialisasi kepada Usahawan UKM tentang pentingnya perlindungan produk-produk UKM sehingga bisa bersaing, serta cara2 pemanfaatan sistem HKI atau sistem PATEN guna meningkatkan jumlah dan kualitas produk2 HKI kita.
Fakta HKI di lapangan ditemukan bahwa pada banyak negara yang memiliki SDM berbasis HKI jauh lebih makmur, dibanding negara2 yang memiliki SDA, serta sangat terbatas memiliki SDM. misal: Negara Swiss tidak punya SDA tetapi makmur oleh karena kepemilikan SDM yang handal berbasis HKI (hasil olah pikir manusia). Dengan demikian, mungkin perlu kita mencoba mendiskusikan apanya yang keliru dalam hal ini, mungkin karena miskinnya produk2 HKI yang bahkan sudah go internasional atau mungkin perlu kita pradigma baru bagaimana kita menempatkan SDM berbasis HKI menjadi prioritas untuk pembangunan SDM Indonesia. Memasukkan HKI kedalam dunia Pendidikan adalah salah satu alternaif solusi mendukung kebijakan bisnis di Indonesia, serta sosialisasi dini kepada kepada Inovator teknologi/peneliti/pencipta agar hasil invensinya tidak dipalsukan dan siap dikomersialkan. Khusus dalam menghadapi Pasar bebas dalam rangka mendorong tumbuhnya produk2 HKI kita yang dilindungi secara hukum.
Adanya pergeseran paradigma bahwa yang awalnya kita menciptakan produk2 baru berkualitas, dan ternyata perlindungan hukum produk2 kita tidak ada/tidak pernah didaftarkan HKI atau Patennya. Dan apabila pada kemudian hari, ada produk dari luar yang telah mendapatkan perlindungan hukum, maka tentu produk yang legal demi hukum tsb akan menguasai pasar. Contoh: batik printing dari Cina itu sudah menguasai pasar kita (karena produk2 china lebih murah dan cepat mendatangkan uang) artinya bahwa faktor mendapatkan keuntungan menjadi daya tarik tersendiri dibanding dengan menciptakan produk2 kreasi baru berbasis HKI, belum lagi proses produksi yang panjang.
Secara umum, ditemukan bahwa perekonomian dunia (70%) dikuasai oleh aset harta benda tak bergerak/tak berwujud/ intangible dan yang paling dominan adalah aset HKI (paten, desain industri, merk, hak cipta, dll). Paten digunakan sebagai alat untuk mendorong kesinambungan riset, katalisator untuk teknologi baru dan bisnis, serta alat untuk menguasai pasar atau perdagangan, demikian juga sebagai indikator perkembangan teknologi, tingkat inovasi, kemandirian teknologi/industri suatu negara.
Kondisi terkini ttg paten di Indonesia, menurut Marvel (2013) bahwa permohonan paten hingga saat ini kurang lebih 90.000 sedangkan yang sudah diberikan paten (sertifikat) sejumlah 35.000. Tercatat bahwa 94,5% paten berasal dari luar negeri yang diberi sertifikat, serta hanya 5,5% saja HKI dari domestik, dan yang bisa dikomersialkan hanya kurang dari 1% saja. Untuk paten yang sudah public domain berjumlah 40.000 (sebagian besar berasal dari luar negeri), dimana paten ini sudah menjadi milik publik dan tidak mendapatkan perlindungan hukum lagi oleh negara. Adapun alasan sdh jadi public domain yakni (1) Sudah ditarik kembali sebelum mendapatkan sertifikat paten baik oleh pemohon, pihak examiner HKI karena tdk memenuhi persyaratan formalitas atau substantif; (2) sudah habis masa perlindungan hukumnya; (3) paten yg sdh dibatalkan: 3.a) batal atas permintaan sendiri, (3.b) paten yang batal demi hukum, oleh karena 3thn berturut-turut tidak bayar biaya tahunan. Paten luar negeri yang tdk mendaftarkan patennya dan tidak mendapatkan perlindungan hukum di Indonesia termasuk paten yg sdh public domain ini dapat dimanfaatkan, tanpa ada konsekuensi hukum, dan kemudian dilakukan inovasi kembali untuk menjadi suatu invensi baru di Indonesia.
Dalam memanfaatkan paten2 yang sdh public domain diperlukan wadah/lembaga yang mengakomodir keperluan dan kepentingan tiap2 sektor. Perlu disiapkan TIMNAS untuk memonitor, termasuk produk2 HKI atau paten yang benar2 telah dilaksanakan dan tidak dilaksanakan. Mengingat, sepanjang sejarah terbitnya UU Paten ini ada, hingga sekarang kita tidak pernah tahu siapa yang memonitor, mengawasi, serta memberikan sanksi terhadap kewajiban pelaksanaan UU tsb di Indonesia. Jika ada pelanggaran terhadap HKI, saat ini sudah ada direktorat Penyidikan. Akan tetapi Indonesia, belum punya wadah/lembaga khusus yang mengawasi atau memonitor pelaksanaan paten oleh produsen2 (utamanya dari negara maju) sesuai amanat UU paten. Guna melengkapi adanya TIMNAS PENANGGULANGAN PELANGGARAN HUKUM HKI, maka dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan HKI serta untuk lebih mendorong kreatifitas, inovasi, kegiatan usaha dan industri, maka pembentukan TIMNAS PELAKSANAAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL sangat diperlukan.
Adapun fungsi dan peran lembaga TIMNAS PELAKSANAAN HKI antara lain diusulkan sebagai berikut: (1) untuk mengkoordinasikan pelaksanaan HKI di Indonesia, (2) merumuskan kebijakan nasional pelaksanaan HKI; (3) menetapkan langkah-langkah nasional yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan HKI; (4) mengkaji dan menetapkan langkah-langkah strategis mengenai pelaksanaan HKI, termasuk pelaksanaan sesuai tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing anggota; (5) melakukan koordinasi dalam sosialisasi dan pendidikan di bidang HKI guna pelaksanaan HKI kepada instansi, lembaga terkait dan masyarakat melalui berbagai kegiatan; (6) mengadakan dan meningkatkan kerjasama secara bilateral, regional maupun multilateral dalam rangka pelaksanaan HKI.
Pertanyaannya adalah, kapan timnas tersebut dibentuk dan berjalan dengan efektif??