Persaingan yang sehat merupakan salah satu prasyarat kesuksesan pembangunan ekonomi. Menurut teori pertumbuhan ekonomi Schumpeter (Schumpeterian Growth Policy), keberadaan persaingan dalam suatu pasar, diharapkan mendorong para pelaku usaha untuk senantiasa meningkatkan efisiensi dan inovasi dalam berproduksi. Selanjutnya peningkatan inovasi dan efisiensi produksi akan mendorong peningkatan daya saing perusahaan, sektor industri terkait, dan seluruh perekonomian.
Konsep persaingan tersebut merujuk pada persaingan usaha yang sempurna (perfect competition). Persaingan usaha yang sempurna adalah kondisi dimana tidak ada satupun pelaku pasar yang dapat menentukan harga (price maker). Artinya, tidak terdapat satu atau beberapa perusahaan dengan tingkat penguasaan pasar (market share) yang terlalu dominan sehingga memungkinkan praktek penetapan harga di pasar. Ciri-ciri dari persaingan usaha yang sempurna menurut teori ekonomi, antara lain: (i) jumlah pembeli dan penjual yang sangat banyak; (ii) adanya kebebasan bagi pelaku usaha baru untuk masuk dan keluar pasar (tidak terdapat hambatan pasar); dan (iii) penjual dan pembeli sama-sama memiliki informasi yang sempurna tentang pasar.
Menurut hukum di Indonesia, kondisi dimana tidak terdapat satu (atau beberapa) perusahaan dengan tingkat penguasaan pasar yang terlalu dominan sehingga memungkinkan untuk terjadinya praktik penetapan harga diterjemahkan sebagai adanya kesempatan yang sama bagi setiap Warga Negara Indonesia untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar. Saat ini praktek persaingan usaha di Indonesia berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, adalah sejalan dengan semangat Pancasila dan Undang- Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34. Secara garis besar, Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 berisi larangan terhadap perjanjian, kegiatan dan posisi dominan yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Pengaturan terhadap kegiatan persaingan usaha dilakukan dengan ketat guna mencegah pelaku usaha melakukan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Setelah Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 diberlakukan, persaingan usaha dan lingkungan bisnis (business environment) di Indonesia sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain: faktor substansi Undang-Undang, faktor aparatur penegak hukum terkait, dan faktor budaya hukum. Dari ketiga faktor tersebut, faktor aparatur penegak hukum terkait (dalam hal ini tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha / KPPU dalam mengawasi praktik persaingan usaha) adalah yang paling menonjol.
Selama tahun 2000 hingga 2010, KPPU telah menerima 1,438 laporan dari masyarakat dan menangani 249 perkara persaingan usaha (Juni 2000 –Januari 2011). Dari seluruh perkara yang ditangani, KPPU telah menghasilkan 198 putusan dan 51 penetapan.Lebih lanjut, selama satu dekade KPPU telah mengenakan denda sebesar Rp 949.542.844.090 dan ganti rugi sebesar Rp 919.691.129.987. Meningkatnya pengawasan persaingan usaha yang dilakukan oleh KPPU secara signifikan memperbaiki lingkungan usaha (business environment) dan mendorong peningkatan daya saing nasional (national competitiveness).
Indonesia adalah salah satu dari empat negara anggota ASEAN yang memiliki badan pengawas persaingan usaha (dalam hal ini KPPU). Selain Indonesia, negara ASEAN lain yang memiliki badan pengawas persaingan usaha adalah: Singapura, Thailand dan Vietnam. Dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, kisah sukses perubahan iklim persaingan usaha di Indonesia setelah implementasi Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan berdirinya KPPU cenderung lebih menonjol.
Tingginya tingkat kerjasama luar negeri turut menunjukkan KPPU sebagai salah satu lembaga persaingan yang diakui dunia internasional (terutama di kawasan Asia). Lebih lanjut, di kawasan Asia Tenggara KPPU telah memposisikan dirinya sebagai lembaga terbaik diantara 3 (tiga) negara lain yang telah mengimplementasikan hukum persaingan usaha; dan telah bertugas aktif dalam mengembangkan kebijakan persaingan regional untuk kawasan ASEAN. Tindakan ini dilakukan sejalan dengan komitmen Indonesia untuk menciptakan lingkungan usaha yang adil dan sepadan yang merupakan komponen utama dari pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) pada tahun 2015.