Coret2 Analisa Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH)


No
Pasal / Masalah
Analisis
1.
Pasal 1 ayat 1

"Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat"

Semua produk wajib halal tidak terbatas hanya produk konsumsi, hal ini tidak konsisten dengan Pasal 17- 20 tentang bahan, yang menyiratkan bahwa halal hanya untuk produk konsumsi yang dikemas (obat, makanan, dan minuman).

Padahal, makanan dan minuman bukan hanya yang kemasan; ada pangan segar, olahan rumah tangga, olahan siap saji yang juga diedarkan dan diperdagangkan.

2.
Pasal 4

"Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal"
Hal ini merupakan ketentuan wajib halal, yang bertentangan dengan paragraf pembukaan UU Pangan serta kelaziman internasional.

UU Pangan No 8/2012  menyebutkan dalam Pasal 1 Ayat (5), "Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi".

Pasal 69(g) menyebutkan, "Penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan".
Demikian juga Pasal 101 Ayat (1) menyebutkan, "Setiap orang yang menyatakan dalam label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan bertanggung jawab atas kebenarannya". Inilah asas sukarela halal: yang menyatakan halal wajib mengajukan sertifikasi halal. Hal ini sesuai dengan kelaziman internasional yang diatur dalam General Guidelines for Use of the Term "Halal" Codex Alimentarius Commission (CAC/GL 24-1997) bahwa penggunaan label halal merupakan klaim dan apabila produsen klaim produknya halal, harus memenuhi ketentuan sesuai dengan hukum Islam.

Pasal 4 ini juga tidak sinkron dengan pasal lain, seperti Pasal 26 (1) yang berbunyi "Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal". 

3.
Pasal 5 (3) dan Pasal 10 c

"Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH dibentuk BPJPH (Badan Penyelenggara JPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri".

Salah satu kewenangan BPJPH adalah melakukan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), yang dalam Pasal 10c dikerjasamakan dengan MUI.
Ini bertentangan dengan UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK) yang baru disahkan DPR, 26 Agustus 2014, yaitu Pasal 9(2), "Tugas dan tanggung jawab di bidang akreditasi LPK (Lembaga Penilaian Kesesuaian) dilaksanakan oleh KAN (Komite Akreditasi Nasional), di mana KAN berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden melalui Kepala Badan Standardisasi Nasional" (catatan: LPH adalah salah satu bentuk LPK).

UU JPH ini akan mengubah tatanan akreditasi standar nasional sekaligus menyalahi good governance: penyelenggara sertifikasi sekaligus berfungsi sebagai pelaksana akreditasi dan dikhawatirkan fungsi kontrol rancu. Seharusnya pemerintah berfungsi sebagai regulator saja serta fokus sebagai pengawas. Fungsi sertifikasi bisa dijalankan lembaga kredibel seperti  saat ini: LPPOM MUI. Fungsi akreditasi dilaksanakan KAN sesuai dengan UU SPK dan jika halal dianggap lex specialis, bisa dikoordinasikan kepakarannya dengan MUI. Dengan demikian, fungsi kontrol dan harmonisasi regulasi bisa berjalan dengan baik.

4.
Pasal 10 (2)

Penetapan fatwa halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.

Dengan adanya monopoli kewenangan dari MUI di dalam mengeluarkan fatwa halal ini akan memungkinkan terjadinya konspirasi (kongkalikong) dengan para pelaku usaha yang mengurus sertifikasi halal. Oleh karena itu, perlu ada tim pengawasan agar proses sertifikasi halal berjalan transparan, akuntabel dan meminimalkan terjadinya kongkalikong antara pihak yang berwenang memberi sertifikasi dengan pelaku usaha. 

5.
Pasal 13             

Untuk mendirikan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan:
a.       memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
b.      memiliki akreditasi dari BPJPH;
c.       memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan
d.      memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium.


Syarat pendirian LPH terhalang oleh keterbatasan auditor baik secara kualitas maupun kuantitas akan dapat menyebabkan terhambatnya proses pengujian produk

Perlu adanya dukungan dan komitmen anggaran dari pemerintah di dalam mendorong penyediaan auditor, laboratorium, infastruktur pendukung dan pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil. 


6.
Pasal 24
Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib:

a. memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;
b. memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;
c. memiliki Penyelia Halal; dan
d. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH.


Prosedur pengajuan permohonan Sertifikat Halal yang terlalu panjang/rumit akan menyulitkan para pelaku usaha khususnya pelaku usaha kecil dan mikro di dalam mengurus sertifikasi.

Oleh karena itu, pemerintah perlu membentuk tim pendamping yang berfungsi mendorong dan melakukan pendampingan kepada pelaku UMKM di dalam mengurus proses sertifikasi halal.


7.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan dan Pengujian
Pasal 31

(1)  Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh Auditor Halal.
(2)  Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi.
(3)  Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.
(4)  Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.

Prosedur di dalam pengujian yang kaku akan menimbulkan kesulitan bagi para pelaku khususnya pelaku usaha mikro dan kecil. 


8.
Proses Sertifikat Halal
Saat ini LPPOM MUI telah melakukan terobosan dengan Sertifikasi Halal Online (CEROL SS23000), tetapi belum bisa memuaskan semua pemohon.

Tenaga auditor seluruh Indonesia yang  737 orang (LPPOM MUI, 2014) hanya mampu melayani 1.270 perusahaan selama Januari-Juli 2014. Angka ini  sudah  jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya melayani 832 perusahaan. Padahal, jumlah industri makanan dan minuman 6.190 perusahaan menengah-besar serta 1.054.398 kecil dan mikro (BPS, 2013), belum termasuk yang tak terdaftar. Perbandingan angka ini menggambarkan bahwa masih banyak yang harus disiapkan dalam menerapkan jaminan halal bagi semua.

Sertifikat dan label hanya sebagian kecil dari Sistem Jaminan Halal. Yang terpenting ada dalam proses produksi sehari-hari adalah tanggung jawab yang melibatkan semua pelaku internal dan eksternal, pengawasan oleh penyelia yang profesional, serta penerapan hukum oleh pemerintah selaku agen regulasi.

9.
Biaya
Pasal 44

(1)   Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
(2)   Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.

Dalam penjelasannya diterangkan bahwa, dalam rangka memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang-Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.

Biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal dari MUI mulai dari Rp 0 hingga Rp 5 juta per produk tergantung jenisnya, di luar biaya-biaya lain. Standar per sertifikat Rp 1 juta - Rp 5 juta untuk perusahaan menengah ke atas, dan untuk perusahaan kecil-menengah Rp 0 - Rp 2,5 juta. Ini di luar dari transportasi dan akomodasi, tergantung besar atau kecilnya perusahaan.

Biaya tersebut merupakan biaya jasa yang digunakan untuk mengaudit on desk ataupun on site(lapangan). Adapun biaya tambahan di luar itu adalah biaya transportasi dan akomodasi seperti penginapan, konsumsi dan pelaksanaan audit menjadi beban pelaku usaha.

Biaya Tindakan Persyaratan SJH : pembuatan manual, matriks bahan, ikut pelatihan, audit internal, dan kaji ulang manajemen. tindakan tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit. bagi UKM, biaya untuk tindakan tersebut sangat memberatkan, selain itu juga persyaratan yang sangat sulit untuk dilakukan.

Biaya pemeriksaan produk, sertifikasi, label halal dan surveilen ditanggung oleh pelaku usaha yang mengajukan permohonan

Belum adanya standarisasi biaya untuk sertifikasi halal pada makanan secara transparan . Sebab, selama ini LP POM MUI belum memiliki landasan yuridis guna penentuan biaya terutama untuk pengurusan sertifikasi makanan halal di daerah. Jika ini dikelola dengan baik tentunya pemerintah dapat memenuhi kebutuhan operasional dan fasilitas laboratorium hingga di tingkat daerah.

10.
Resistensi
Pencantuman label halal pada produk-produk kesehatan tertentu, utamanya obat [termasuk vaksin], dapat menimbulkan resistensi umat Islam terhadap produk-produk kesehatan yang tidak berlabel halal.

Sangatlah tidak bertanggung jawab kalau ada negara bersikukuh mempermasalahkan jaminan produk halal untuk obat dan vaksin, padahal negara tersebut tidak memiliki kapasitas atau pengalaman dalam memproduksi obat dan vaksin dalam kuantitas yang cukup untuk seluruh populasi di semua Negara Islam. Apalagi negara-negara OKI, termasuk Arab Saudi, telah menerima fatwa Majelis Fikih Islam pada 2005 bahwa vaksin polio―dan, dengan demikian, juga obat dan vaksin lain yang pernah bersinggungan dengan babi―adalah halal.

Penetapan sertifikasi halal untuk produk obat [termasuk vaksin] bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, antara lain. UU No.36/2009 tentang Kesehatan.
Obat [termasuk vaksin] telah diatur ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Kementerian Kesehatan; penetapan sertifikasi halal tidak meningkatkan keamanan maupun efektivitas obat [termasuk vaksin] yang tersedia.

Tidak adanya kepastian hukum mengenai institusi mana di dalam sistem tata negara dalam konstruksi pemerintahan negara sebagai institusi/lembaga penjamin halal terhadap pangan dan produk lainnya, sehingga tidak terdapat kepastian mengenai wewenang, tugas, dan fungsi mengenai atau dalam kaitannya dengan jaminan produk halal

Mengkategorikan produk farmasi tertentu sebagai produk tidak halal bukanlah merupakan langkah yang bijak bagi pencapaian tujuan kesehatan masyarakat dan akan mempersulit akses pasien ke pengobatan yang optimal serta pencegahan penyakit (vaksin). Hal ini karena berbeda dengan produk lainnya seperti makanan dan minuman, kebanyakan produk obat obatan tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi atas keinginan konsumen sendiri.

12.
Penyelia
Pasal 24
Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib:
c. memiliki Penyelia Halal;

Pasal 28

(1) Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c bertugas:
a. mengawasi PPH di perusahaan;
b. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan;
c. mengoordinasikan PPH; dan
d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan.

(2) Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan:
a. beragama Islam; dan
b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan.
(3) Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH.

Siapakah Penyelia ini?

Belum tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang sesuai dengan bidang keilmuanya untuk proses labelisasi makanan halal hingga ke tingkat daerah menyulitkan banyak perusahaan terutama UKM yang mampu menyediakan Penyelia Halal ini.

13.
Lain-lain
Sistem informasi produk halal yang memadai sebagai pedoman pelaku usaha dan masyarakat belum sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang produk-produk yang halal.

UU JPH akan diberlakukan pada tahun 2019.
Paling tidak ada 8 (delapan) PP (peraturan pemerintah) dan dua permen (peraturan menteri) yang dibutuhkan." Implementasi UU itu juga memerlukan pembentukan badan penyelenggara jaminan produk halal (BPJPH) sekaligus penyiapan anggaran bagi operasional lembaga tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar