Paten merupakan sebuah indikator bagi sebuah Negara dalam menggambarkan tinggi rendahnya aktivitas litbang (penelitian dan pengembangan) di sebuah Negara yang melibatkan interaksi lembaga litbang, perguruan tinggi dan industri. Kebijakan paten yang dilakukan Amerika Serikat melalui Bayh-Dole Act (BDA) misalnya, mampu mendorong perguruan tinggi dalam menghasilkan produk-produk yang berkontribusi terhadap perekonomian Amerika Serikat.
Kepemilikan paten Indonesia masih tertinggal dibandingkan empat negara ASEAN lain (Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand). Selama periode 1991–2009, dari sekitar 71.024 buah, permohonan paten, hanya sebesar 8% (5.839 buah) paten terdaftar yang berasal dari Indonesia, sedangkan sisanya merupakan pengaju dari luar negeri seperti Amerika Serikat dengan 19.406 buah paten atau sekitar 27% dan Jepang sebanyak 12.639 buah paten atau sekitar 18%.
Paten yang berhasil diberikan (granted) dari 22.579 buah paten, pemohon dalam negeri hanya berhasil mendapatkan sekitar 2% paten granted dan sebagian besar (98%) dinikmati oleh pihak luar negeri. Masih rendahnya kepemilikan paten Indonesia, menunjukkan belum efektifnya mekanisme pengelolaan paten yang dihasilkan oleh elemen perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah, serta masih rendahnya pemanfaatan paten oleh sektor industri di Indonesia.
Pertanyaannya adalah bagaimana efektivitas kebijakan paten di Indonesia mampu mendorong aktivitas inovasi yang bermanfaat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi?
Pengelolaan paten di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang sudah ditangani oleh badan-badan independen. Keluwesan dan efektifnya mampu menghubungkan sisi penawaran dan permintaan produk-produk invensi yang sudah dipatenkan tidak hanya berupa aktivitas pendaftaran produk-produk invensi dan menciptakan skema keterbukaan informasi produk yang bersangkutan, namun juga bagaimana produk-produk invensi tersebut dapat memasuki tahap pemanfaatan yang memiliki nilai tambah ekonomi.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mendorong pemanfaatan paten milik umum atau habis masa perlindungannya atau disebut public domain. Saat ini, terdapat 8.000 paten yang menunggak biaya tahunan, sebanyak 1.600 paten tersebut adalah milik dalam negeri termasuk dalam berbagai sektor seperti mekanika, telekomunikasi, pertanian, perikanan, energi, farmasi dan sektor lain.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tahun 2010 sebanyak 402 industri bidang mesin dan perlengkapannya memberikan nilai tambah sebanyak Rp. 45.265.000.000 dan turut membuka lapangan pekerjaan sebanyak 80.611 orang tenaga kerja. Adapun industri yang bergerak di bidang radio, televisi dan peralatan telekomunikasi berjumlah 220 industri, dan memberikan nilai tambah sebanyak Rp. 20.499.000.000 dan turut membuka lapangan pekerjaan sebanyak 134.414 orang tenaga kerja.
Oleh karena itu, dalam rangka mengelola dan memanfaatkan paten public domain untuk kebutuhan industri dan memberikan keuntungan secara komersial, maka diperlukan roadmap pemanfaatannya. Untuk mendukung roadmap pengelolaan dan pemanfaatan paten public domain diperlukan suatu lembaga/institusi yang tugasnya antara lain; mengembangan, mempromosikan, menyatukan antara inventor dengan pihak yang akan memanfaatkan, serta mengkaji regulasi.
Pemanfaatan paten public domain, perlu dipikirkan mengenai public relation terutama terkait pengaturan sistem transisi agar teknologi tersebut dapat dimanfaatkan. Masyarakat perlu diinformasikan mengenai status teknologi public domain. Diperlukan positif list dari paten serta informasi mengenai paten yang telah kadaluarsa sehingga para calon pengguna terutama UMKM dapat mengerti dengan jelas mengenai hak dan kewajibannya terkait dengan pemanfaatan paten.
Pemerintah harus berperan aktif dalam penyebarluasan paten baik paten baru dalam dalam kerangka peningkatan inovasi ataupun pemanfaatan paten kadaluarsa. Menristek melalui Business inovation center-nya telah menghasilkan 105 produk inovatif yang perlu lebih disebarluaskan kepada masyarakat.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pengawasan bidang HKI menjadi penting karena melibatkan banyak aspek: (i) dari sisi pengembangan industri manufaktur, (ii) sebagai salah satu instrumen penandaan produk dalam sistem perdagangan (kegiatan ekspor/impor bisa diberhentikan oleh Kepabeanan bila terbukti terdapat permasalahan bidang HKI), (iii) pengembangan UMKM. Dalam hal penanganan penandaan, terdapat 4 jenis penandaan sangat terkait dengan aspek perlindungan dan komersial yang penting untuk mendukung daya saing produk tersebut. Empat penandaan adalah: (1) penandaan terkait HKI sebagai perlindungan hak , (2) penandaan SNI sebagai user protection, (3) penandaan branding untuk memperlihatkan karakter keunggulan, (4) penandaan Labelling untuk dukungan consumer protection;
Sesuai UU No 18 Tahun 2002, semua lembaga litbang dibawah pemerintah dan Perguruan Tinggi wajib untuk mempunyai sentra HKI sebagai bentuk sosialisasi dan komersialisasi HKI. Namun masalah yang masih terjadi adalah kurangnya pemahaman mengenai HKI bahkan pada taraf dosen. Hasil kajian BPPT tahun 2011-2012 mengenai permasalahan HKI pada IKM menunjukkan bahwa masih banyak IKM belum memikirkan tentang pentingnya paten dan masih fokus dengan penurunan biaya produksi. Selain itu rata-rata status teknologi dari IKM masih tradisional karena kemampuan SDM yang masih terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar