Pantauan Barang Beredar Khususnya Ekspor Impor Ilegal di Provinsi Sulawesi Tenggara



Potensi

Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai penduduk berjumlah 2.720.713 jiwa, dengan luas wilayah daratan 38.140 km2 atau 28% dan 114.879 km2 wilayah laut atau 72%, terdiri dari 651 pulau dan panjang garis pantai 1.740 Km, ini terdiri dari 12 kabupaten dan 2 kota. Potensi utama sumberdaya alam diantaranya Nikel (kandungan 97,4 M Ton dan harga 48.000 T); Aspal (Luas 30.000 Ha dan cadangan 680.747.000 Ton); Emas (Cadangan 1.125 M Gram), Kakao (Luas 249.234 Ha; Produksi 161.064 Ton), Jambu Mete (119.357 Ha; 14.310 Ton), Kayu Jati dan Rimba (89.294 M3); Rotan (9.236 M3); Perikanan Laut (produksi 135.446 Ton) (Data olahan BPS 2014 dan BPMD Sultra). 

Pusat-Pusat Industri diantaranya Pusat Industri Pertambangan Nikel Kolaka, Kolaka Utara, Bombana, Konawe dan Konawe Utara, Pusat Industri Pertambangan Aspal Lasalimu, Pusat Industri Kakao Ladongi, Pusat Pengembangan Kelautan dan Perikanan Wawonii. 

Pengusahaan pertambangan saat ini dilakukan oleh 3 (tiga) perusahaan raksasa yaitu PT. Antam, PT. INCO, dan PT. Rio Tinto dan ratusan perusahaan pemegang kuasa pertambangan eksplorasi maupun eksploitasi pertambangan nikel. Selain itu terdapat puluhan pemegang ijin pengusahaan pertambangan lainnya. Dalam menunjang produktifitas dan logistik barang, terdapat 22 pelabuhan laut dan 9 pelabuhan/dermaga khusus dan 5 bandara.


Kondisi Perdagangan

PDRB Sulawesi tenggara tahun 2013 sebesar Rp. 40,77 Triliun, sementara berdasarkan harga kontan PDRB Sulawesi Tenggara tercatat Rp. 15,04 Triliun. Berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dari Bea dan Cukai, komoditas andalan Sulawesi Tenggara antara lain Biji Nikel, Besi dan Baja serta bermacam hasil laut, negara tujuan ekspor tersebar pada benua Asia, Australia, hingga Eropa. Kegiatan impor antara lain dari komoditi bahan bakar mineral, produk keramik, barang dari besi dan baja, mesin dan pesawat mekanik serta kapal laut dan bangunan terapung. 

Volume ekspor Tahun 2013 sebesar 32.086.631.620 Ton dengan Nilai sebesar 975.891.380 USD. Jumlah tersebut mengalami kenaikan volume tapi penurunan nilai dibandingkan tahun 2012 sebesar 26.541.027.050 Ton dengan Nilai sebesar 1.060.589.940 USD (Data BPS 2014). Volume impor Tahun 2013 sebesar 465.410.563.000 Ton dengan Nilai sebesar 497.879.715 USD. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2012 sebesar 284.614.918.000 Ton dengan Nilai sebesar 318.191.692 USD (Data BPS 2014). 

Melalui Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RJPMD) bahwa pengelolaan bahan galian mineral diharapkan dapat menjadi penggerak utama pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, secara sustainable, memperhatikan kelestarian lingkungan serta memberikan kontribusi bagi penerimaan daerah; 

Dalam rangka peningkatan nilai tambah dan multiplier effect, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah mewajibkan bahan galian yang diekspor dalam bentuk konsentrat dengan kadar yang jelas serta terlebih dulu dilakukan pengolahan. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara atau Minerba mengenai kewajiban membangun smelter. Dampaknya adalah penghentian kegiatan ekspor barang mineral tambang; 

Kegiatan ekspor hasil perikanan di Sulawesi Tenggara juga terhenti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 56 tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Negara Republik Indonesia yang kemudian meluas dengan diterbitkannya Surat Edaran Dirjen Perikanan Budidaya Nomor 6672/DPB/TU.210.05/XI/2014 tentang Moratorium Surat Izin Pengangkut Ikan (SIKPI) di Bidang Budidaya. Dampaknya adalah tidak ada pendaftaran dan pencatatan ekspor melalui pabean, dan diduga hasil perikanan dibawa langsung ke kota lain (Makassar dan Surabaya) untuk diekspor.

Hasil Pantauan

Dengan ada atau pun tidak adanya kebijakan pemerintah, ditengarai masih terdapat barang yang diekspor secara ilegal yaitu barang mineral tambang, hasil perkebunan dan kehutanan, dan hasil perikanan. Modus ekspor barang tambang ilegal yang digunakan adalah memberitahukan jenis barang lain yang tidak sesuai dengan pemberitahuan pabean dan menggunakan nama eksportir/perusahaan lain. Hal ini terungkap dari penggagalan Kantor Bea Cukai Tanjung Priok terhadap 37 kontainer mineral bahan tambang berukuran 20 feet (diantaranya 18 kontainer bijih krom, 14 kontainer biji nikel dan 2 kontainer zeolit) dari Sulawesi Tenggara yang akan diekspor secara ilegal (5 November 2014). 

Modus yang dipakai adalah permintaan ijin kepada pabean lokal dengan ijim jual antar pulau melalui pelabuhan-pelabuhan kecil atau pelabuhan tikus (yang terletak di berbagai daerah di sekitar tempat pengolahan nikel di Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Konawe Utara, Konawe Selatan dan Bombana), sehingga tidak tercatat besarannya. Upaya yang dilakukan oleh Kantor Bea Cukai Kendari (KPPBC Tipe A3) memiliki keterbatasan melakukan pengecekan dan monitoring. 

Modus serupa juga terjadi pada hasil perkebunan dan kehutanan, dimana isi dokumen dengan fisik tidak sesuai. Contohnya, isi fisik yang seharusnya 21 m3, di dokumen hanya ditulis 19 m3. Selain itu dokumen yang menyertai adalah FAKO (Faktur Angkutan Kayu Olahan), seharusnya SKAU (Surat Keterangan Asal Usul) atau SAP (Surat Angkutan Pengganti). 

Terkait dengan pengawasan terhadap peredaran barang dan jasa, ditemukan banyak barang beredar hasil impor ilegal yaitu pakaian bekas dan barang elektronik. Hasil pengawasan bea cukai ditemukan dan dilakukan penindakan terhadap masuknya pita cukai, rokok dan minuman keras ilegal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar