Sidang Komite Technical Barriers to Trade (TBT) tanggal 3-6 November 2015 di WTO, Jenewa



Sidang reguler Komite Technical Barriers to Trade (TBT) WTO telah diselenggarakan di Jenewa, Swiss, pada tanggal 5-6 November 2015 di WTO, yang didahului dengan Thematic Session tanggal 3 November 2015, dan Perayaan Ulang Tahun Persetujuan TBT ke-20 pada tanggal 4 November 2015.

Perjanjian TBT adalah satu perjanjian di bawah payung WTO yang bertujuan agar standar, regulasi teknis, dan prosedur kesesuaian tidak menjadi hambatan yang tidak diperlukan dalam perdagangan. Perjanjian TBT WTO adalah salah satu kesepakatan dalam GATT Agreement 1994 yang mengatur ketentuan non-tarif (non-tariff measure). Perjanjian ini dibuat mengingat pentingnya peran standar internasional dan prosedur penilaian kesesuaian dalam meningkatkan efisiensi produksi dan memfasilitasi pelaksanaan perdagangan internasional.

Isu-isu Specific Trade Concern (STC) yang menjadi kepentingan Indonesia antara lain :
  1. Review Peraturan Pelaksana Pemberlakuan SNI Mainan anak secara wajib agar efektif dan efisien terkait persyaratan laboratorium yang diakreditasi, frekuensi pengujian, perbedaan metode sampling antara produk lokal dan impor, persyaratan batas formaldehyde dan dokumen.
  2. Penundaan pencantuman informasi Gula Garam Lemak dan pesan kesehatan pada Produk Pangan Cepat Saji sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2015 menjadi 4 tahun setelah regulasi tersebut ditetapkan (berlaku efektif tahun 2019).
  3. Sedang disusun peraturan turunan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, seperti skema akreditasi dan sertifikasi halal.
  4. Proses sertifikasi dan penggunaan kandungan lokal pada Produk 4G LTE telah diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kominfo No.27 tahun 2015 Tentang Persyaratan Teknis Alat atau Perangkat Telekomunikasi Berbasis Standar Teknologi Long Term Evolution.
  5. Indonesia meminta agar Singapura menunda rencana untuk menerapkan kebijakan Plain Packaging for Tobacco Products sampai proses sengketa di WTO, karena kebijakan tersebut berpotensi melanggar Perjanjian TBT dan TRIPS. 

Pertemuan Bilateral :
  1. Peraturan label pada produk yang mengandung minyak sawit, khususnya pada penyusunan draft amandemen regulasi Safety and Dairy Product oleh Rusia khususnya pada olahan yang mengandung minyak sawit.
  2. Kandungan Anthraquinone pada produk teh yang diekspor ke Uni Eropa dan peraturan terkait mainan anak, sertifikasi pangan organik, minuman beralkohol, kategori produk, standar halal, dan pemberlakuan halal menjadi peraturan teknis.
  3. Konfirmasi Jepang mengenai peraturan baja dan berbagai regulasi teknis standar oleh BSN.
  4. Kesulitan ekspor kayu yang bersertifikasi oleh Kanada sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 63/M-DAG/PER/8/2015 yang telah dinotifikasi oleh Komite Import Licensing agar peraturan tersebut juga dinotifikasi melalui Komite TBT.
  5. Hal-hal yang dibahas dengan Amerika Serikat adalah terkait produk halal, produk 4G LTE, mainan anak, minuman beralkohol, dan pencantuman informasi Gula Garam Lemak dan pesan kesehatan.

Penerapan Standardisasi dan GRP BSN


Sebagaimana diketahui, Indonesia menjadi anggota WTO pada 1 Januari 1995 sejak meratifikasi UU. No 7 Tahun 1994 tentang Pembentukan dan Pengesahan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Konsekuensi sejak diratifikasinya UU tersebut Indonesia terikat dengan 12 Perjanjian yang ada dalam WTO salah satunya adalah Technical Barrier Barrier to Trade yang mengatur tentang Standar, Regulasi Teknis dan Penilaian Kesesuaian.

Salah satu amanah dalam Perjanjian TBT yaitu regulasi teknis mengarahkan agar regulasi teknis yang disusun, diterapkan harus memperhatikan kaidah-kaidah internasional antara lain mengacu kepada standar, penilaian kesesuaian serta referensi internasional yang telah disepakati Pemerintah. Selain itu, regulasi teknis juga harus memperhatikan prinsip-prinsip yang ada dalam Perjanjian TBT WTO yaitu, non diskriminasi, harmonisasi, ekuivalensi, MRA serta transparansi. 

Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah secara resmi ditunjuk sebagai Enquiry Point (EP) dan Notification Body (NB) untuk penerapan Perjanjian Technical Barrier to Trade (TBT) WTO di Indonesia. Fungsi BSN sebagai EP dan NB adalah menyampaikan notifikasi rancangan/peraturan teknis Indonesia ke WTO, menanggapi notifikasi dari anggota WTO serta mempersiapkan dan mengkoordinasikan posisi Indonesia bersama para pemangku kepentingan terkait untuk isu maupun hambatan teknis lainnya.

Transparansi merupakan hal yang penting, penerapan prinsip transparansi akan memberikan arah kebijakan yang jelas bagi semua pihak termasuk pemerintah maupun dunia usaha. Dengan adanya prinsip transparansi, dunia usaha dapat memprediksi kebijakan yang berlaku di suatu negara maupun sebaliknya. Penyusunan regulasi teknis dengan memperhatikan ketentuan tersebut dapat pula mengurangi hambatan teknis dalam perdagangan (unnecessary obstacle to trade), kepastian usaha, iklim investasi yang kondusif serta mengurangi perpanjangan rantai birokrasi.

Isu Deregulasi dan Debirokratisasi yang merupakan concern Pemerintah sekarang ini, juga terjadi di beberapa negara maju dan berkembang. Negara berkembang seperti Korea telah menerapkan Good Regulatory Practices dan hasil penerapan tersebut memberikan dampak yang cukup signifikan bagi Pemerintah, dimana saat itu Korea memangkas hampir 80% regulasi yang diterapkan oleh Pemerintahnya. Penerapan GRP diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang berkualitas baik, jelas, konsisten dengan kebijakan lain, mengurangi biaya yang tidak diperlukan, kompatibel dengan akses pasar dan lain-lain.

Di level internasional, isu GRP telah dibahas dalam forum-forum seperti WTO melalui komite TBT, APEC melalui Sub Committtee Standard and Conformance, ASEAN melalui ACCSQ serta fora bilateral lainnya. Eksistensi BSN sebagai focal point TBT WTO di Indonesia dan APEC SCSC diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada Regulator/Lembaga terkait bagaimana menerapkan GRP sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah disebutkan tersebut.

Deregulasi dan debirokratisasi oleh Pemerintah saat ini, salah satu contoh dalam penerapan standar dan penilaian kesesuaian di Indonesia,regulasi teknis yang menghambat perdagangan dengan anggota lain harus diminimalisasi untuk mendorong penguatan ekonomi Indonesia serta memperlancar pembangunan Indonesia menuju yang lebih baik. 70 Tahun Indonesia merdeka harus diperkuat dengan Good Governance yang lebih baik.

Kebijakan Persaingan Usaha ASEAN


Persaingan yang sehat merupakan salah satu prasyarat kesuksesan pembangunan ekonomi. Menurut teori pertumbuhan ekonomi Schumpeter (Schumpeterian Growth Policy), keberadaan persaingan dalam suatu pasar, diharapkan mendorong para pelaku usaha untuk senantiasa meningkatkan efisiensi dan inovasi dalam berproduksi. Selanjutnya peningkatan inovasi dan efisiensi produksi akan mendorong peningkatan daya saing perusahaan, sektor industri terkait, dan seluruh perekonomian.

Konsep persaingan tersebut merujuk pada persaingan usaha yang sempurna (perfect competition). Persaingan usaha yang sempurna adalah kondisi dimana tidak ada satupun pelaku pasar yang dapat menentukan harga (price maker). Artinya, tidak terdapat satu atau beberapa perusahaan dengan tingkat penguasaan pasar (market share) yang terlalu dominan sehingga memungkinkan praktek penetapan harga di pasar. Ciri-ciri dari persaingan usaha yang sempurna menurut teori ekonomi, antara lain: (i) jumlah pembeli dan penjual yang sangat banyak; (ii) adanya kebebasan bagi pelaku usaha baru untuk masuk dan keluar pasar (tidak terdapat hambatan pasar); dan (iii) penjual dan pembeli sama-sama memiliki informasi yang sempurna tentang pasar.

Menurut hukum di Indonesia, kondisi dimana tidak terdapat satu (atau beberapa) perusahaan dengan tingkat penguasaan pasar yang terlalu dominan sehingga memungkinkan untuk terjadinya praktik penetapan harga diterjemahkan sebagai adanya kesempatan yang sama bagi setiap Warga Negara Indonesia untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar. Saat ini praktek persaingan usaha di Indonesia berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, adalah sejalan dengan semangat Pancasila dan Undang- Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34. Secara garis besar, Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 berisi larangan terhadap perjanjian, kegiatan dan posisi dominan yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Pengaturan terhadap kegiatan persaingan usaha dilakukan dengan ketat guna mencegah pelaku usaha melakukan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Setelah Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 diberlakukan, persaingan usaha dan lingkungan bisnis (business environment) di Indonesia sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain: faktor substansi Undang-Undang, faktor aparatur penegak hukum terkait, dan faktor budaya hukum. Dari ketiga faktor tersebut, faktor aparatur penegak hukum terkait (dalam hal ini tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha / KPPU dalam mengawasi praktik persaingan usaha) adalah yang paling menonjol.

Selama tahun 2000 hingga 2010, KPPU telah menerima 1,438 laporan dari masyarakat dan menangani 249 perkara persaingan usaha (Juni 2000 –Januari 2011). Dari seluruh perkara yang ditangani, KPPU telah menghasilkan 198 putusan dan 51 penetapan.Lebih lanjut, selama satu dekade KPPU telah mengenakan denda sebesar Rp 949.542.844.090 dan ganti rugi sebesar Rp 919.691.129.987. Meningkatnya pengawasan persaingan usaha yang dilakukan oleh KPPU secara signifikan memperbaiki lingkungan usaha (business environment) dan mendorong peningkatan daya saing nasional (national competitiveness).

Indonesia adalah salah satu dari empat negara anggota ASEAN yang memiliki badan pengawas persaingan usaha (dalam hal ini KPPU). Selain Indonesia, negara ASEAN lain yang memiliki badan pengawas persaingan usaha adalah: Singapura, Thailand dan Vietnam. Dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, kisah sukses perubahan iklim persaingan usaha di Indonesia setelah implementasi Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan berdirinya KPPU cenderung lebih menonjol.

Tingginya tingkat kerjasama luar negeri turut menunjukkan KPPU sebagai salah satu lembaga persaingan yang diakui dunia internasional (terutama di kawasan Asia). Lebih lanjut, di kawasan Asia Tenggara KPPU telah memposisikan dirinya sebagai lembaga terbaik diantara 3 (tiga) negara lain yang telah mengimplementasikan hukum persaingan usaha; dan telah bertugas aktif dalam mengembangkan kebijakan persaingan regional untuk kawasan ASEAN. Tindakan ini dilakukan sejalan dengan komitmen Indonesia untuk menciptakan lingkungan usaha yang adil dan sepadan yang merupakan komponen utama dari pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) pada tahun 2015.

Kawasan Industri Sei Mangkei, Sumatera Utara


a.Letak lokasi Kawasan Industri Sei   Mangkei (KISMK) berada di areal perkebunan kelapa sawit (Raw Material Oriented).
b.Dekat ke pelabuhan Kuala Tanjung milik PT. Inalum maupun PT. Pelindo I. (Direncanakan Pelabuhan PT. Inalum akan diserahkan kepada Pemerintah Indonesia pada tahun 2013)
c.Ada jalur Kereta Api dari Gunung Bayu – Stasiun Perlanaan yang jaraknya dekat dengan KISMK. Sehingga bisa di koneksikan dengan jalur existing ke Pelabuhan Kuala Tanjung.
d.Sejalan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Pelabuhan Kuala Tanjung akan menjadi Global Hub di Koridor Ekonomi I.
e.Telah ada pabrik kelapa sawit (PKS) milik PTPN III yang dibangun pada tahun 1997 kapasitas 30 Ton TBS/Jam, ditingkatkan menjadi 75 Ton TBS/Jam, yang letaknya jauh dari pemukiman masyarakat umum sehingga masyarakat tidak terganggu oleh polusi. Peningkatan kapasitas PKS didasarkan pada prediksi akan terjadi lonjakan jumlah TBS di kebun-kebun kelapa sawit sekitar Distrik Deli Serdang I-II, Simalungun, dan Asahan hasil re-planting dan konversi tahun 2006. Produksi TBS ini bila dikirim ke PKS di luar Sei Mangkei maka biaya transportasi yang timbul selama lima tahun mulai tahun 2007 mencapai sekitar Rp 177 Milyar.
f.Sumber air cukup tersedia dari sungai Bah Bolon
g.Berada & dekat dengan beberapa PKS (berjarak kurang dari 70 km):
    -  Milik PTPN III  = 165 ton TBS/jam
    -  Milik PTPN IV  = ± 300 ton TBS/jam

    -  Milik Swasta  = ± 104 ton TBS/jam
h.Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW )  :  Perda Kab. Simalungun No. 10 tahun 2012 
i.KEK Sei Mangkei ditetapkan melalui   :   PP No. 29 Tahun 2012 dan diberi waktu tiga tahun untuk pembangunan


j.Masterplan & Renstra  :  Tahun 2011, difasilitasi  oleh Kementerian Perindustrian (Ditjen PPI)
k.Luas lahan  KEK sei Mangkei  :   2002,77 Ha
Tahan Pembangunan  :   Tahap pertama kawasan dikembangkan pada areal seluas 104 Ha.
Tahap kedua akan diperluas menjadi 640 Ha
Tahap ketiga siap untuk dikembangkan menjadi 2002,77 Ha.

l.   Pembangunan jalan  :  Terbangunnya ruas jalan Pematang Siantar - Tiga Runggu di Kabupaten Simalungun sepanjang ± 13 Km   
m.  Pembangunan Jalan kereta api  :  Jalan Kereta Api dari  St.Perlanaan ke KISMK 2.95 Km

Kawasan Industri Sabang dan Kawasan Industri Ladong, Aceh


Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Regional melalui Kegiatan di bidang Perdagangan, Jasa, Industri,
Pertambangan dan Energi, Transportasi dan Maritim, Postel, Perbankan, Asuransi, Pariwisata, Pengolahan Pengepakan dan Gudang Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan dan Industri dari Kawasan sekitar.

Kawasan Perdagangan 
1.Pengembangan Kawasan Sabang di arahkan untuk Kegiatan Perdagangan dan Investasi serta kelancaran arus barang dan jasa.
2.Kawasan Sabang adalah suatu Kawasan yang berada dalam wilayah hukum NKRI yang terpisah dari daerah Pabean sehingga bebas dari :
a. Tata Niaga;
b. Pengenaan Bea Masuk;
c. Pajak Pertambahan Nilai;
d. Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3.Kawasan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di tetapkan untuk jangka waktu 70 Tahun.

  1. Terwujudnya pelabuhan Sabang yang mampu mendukung perdagangan bebas, secara teknis mampu melayani kapal dengan kapasitas 10.000 – 14.000 TEUs yang berlayar melalui samudra Hindia dengan Unggulan penyediaan kebutuhan air, listrik, logistik dan fasilitas perbaikan kapal,
  2. Meningkatnya prasarana transportasi laut dengan segala infrastrukturnya agar dapat melayani pelayaran dengan pemanfaatan pelabuhan Container baik internasional maupun nasional di teluk Balohan, 
  3. Terjadinya percepatan pembangunan kawasan industri dan perdagangan bebas di Balohan, industri perikanan di Lampuyang, dan kawasan Oil Refinery dan Bunker di Lhok Pria Laot,
  4. Terbangunnya pelabuhan Sabang, Gapang dan Balohan sebagai port of entry pariwisata khususnya wisata bahari, budaya, keluarga, mountaineering dan eco wisata, 
  5. Terbangunnya pelabuhan dan usaha perikanan rakyat di desa-desa di Kawasan Sabang, 
  6. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan BPKS yang bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel, 
  7. Terbangunnya prasarana transportasi darat, laut dan udara, juga infrastruktur lainnya seperti listrik, gas, air bersih, telekomunikasi, drainase, pembuangan air limbah serta prasarana penginapan seperti hotel dan Resort untuk menunjang kegiatan pariwisata serta perekonomian kawasan Sabang
KI Ladong
Kawasan Industrii Landong merupakan bagian dari KAPET Bandar Aceh Darussalam.
Jenis industri potensial untuk masuk kawasan industri diprioritaskan yang memiliki kaitan kuat dengan kegitan pertanian, peternakan dan perikanan; industri pengolahan kayu; industri minumn dan makanan; industri pakaian; industri kerajinan/ kreatif; serta berbagai jenis industri berbasis bahan baku asli dari propinsi Aceh.
Struktur Ruang kawasan
•Pusat kawasan terletak pada bagian depan kawasan (Jalan Alteri Primer). Terdiri dari perkanoran, masjid, gedung serbaguna, pertokoan dan fasilitas kesehatan.
•Sekunder berupa perumahan, antra pusat prime dan sekunder dihubungkan oleh jaringan jalan utama
Pola Ruang
•Kawasan Budidaya: Industri dam failitas penunjangnya
•Kawasan Lindung: RTH/ Jalur Hijau

Pantauan Barang Beredar Khususnya Ekspor Impor Ilegal di Provinsi Sulawesi Tenggara



Potensi

Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai penduduk berjumlah 2.720.713 jiwa, dengan luas wilayah daratan 38.140 km2 atau 28% dan 114.879 km2 wilayah laut atau 72%, terdiri dari 651 pulau dan panjang garis pantai 1.740 Km, ini terdiri dari 12 kabupaten dan 2 kota. Potensi utama sumberdaya alam diantaranya Nikel (kandungan 97,4 M Ton dan harga 48.000 T); Aspal (Luas 30.000 Ha dan cadangan 680.747.000 Ton); Emas (Cadangan 1.125 M Gram), Kakao (Luas 249.234 Ha; Produksi 161.064 Ton), Jambu Mete (119.357 Ha; 14.310 Ton), Kayu Jati dan Rimba (89.294 M3); Rotan (9.236 M3); Perikanan Laut (produksi 135.446 Ton) (Data olahan BPS 2014 dan BPMD Sultra). 

Pusat-Pusat Industri diantaranya Pusat Industri Pertambangan Nikel Kolaka, Kolaka Utara, Bombana, Konawe dan Konawe Utara, Pusat Industri Pertambangan Aspal Lasalimu, Pusat Industri Kakao Ladongi, Pusat Pengembangan Kelautan dan Perikanan Wawonii. 

Pengusahaan pertambangan saat ini dilakukan oleh 3 (tiga) perusahaan raksasa yaitu PT. Antam, PT. INCO, dan PT. Rio Tinto dan ratusan perusahaan pemegang kuasa pertambangan eksplorasi maupun eksploitasi pertambangan nikel. Selain itu terdapat puluhan pemegang ijin pengusahaan pertambangan lainnya. Dalam menunjang produktifitas dan logistik barang, terdapat 22 pelabuhan laut dan 9 pelabuhan/dermaga khusus dan 5 bandara.


Kondisi Perdagangan

PDRB Sulawesi tenggara tahun 2013 sebesar Rp. 40,77 Triliun, sementara berdasarkan harga kontan PDRB Sulawesi Tenggara tercatat Rp. 15,04 Triliun. Berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dari Bea dan Cukai, komoditas andalan Sulawesi Tenggara antara lain Biji Nikel, Besi dan Baja serta bermacam hasil laut, negara tujuan ekspor tersebar pada benua Asia, Australia, hingga Eropa. Kegiatan impor antara lain dari komoditi bahan bakar mineral, produk keramik, barang dari besi dan baja, mesin dan pesawat mekanik serta kapal laut dan bangunan terapung. 

Volume ekspor Tahun 2013 sebesar 32.086.631.620 Ton dengan Nilai sebesar 975.891.380 USD. Jumlah tersebut mengalami kenaikan volume tapi penurunan nilai dibandingkan tahun 2012 sebesar 26.541.027.050 Ton dengan Nilai sebesar 1.060.589.940 USD (Data BPS 2014). Volume impor Tahun 2013 sebesar 465.410.563.000 Ton dengan Nilai sebesar 497.879.715 USD. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2012 sebesar 284.614.918.000 Ton dengan Nilai sebesar 318.191.692 USD (Data BPS 2014). 

Melalui Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RJPMD) bahwa pengelolaan bahan galian mineral diharapkan dapat menjadi penggerak utama pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, secara sustainable, memperhatikan kelestarian lingkungan serta memberikan kontribusi bagi penerimaan daerah; 

Dalam rangka peningkatan nilai tambah dan multiplier effect, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah mewajibkan bahan galian yang diekspor dalam bentuk konsentrat dengan kadar yang jelas serta terlebih dulu dilakukan pengolahan. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara atau Minerba mengenai kewajiban membangun smelter. Dampaknya adalah penghentian kegiatan ekspor barang mineral tambang; 

Kegiatan ekspor hasil perikanan di Sulawesi Tenggara juga terhenti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 56 tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Negara Republik Indonesia yang kemudian meluas dengan diterbitkannya Surat Edaran Dirjen Perikanan Budidaya Nomor 6672/DPB/TU.210.05/XI/2014 tentang Moratorium Surat Izin Pengangkut Ikan (SIKPI) di Bidang Budidaya. Dampaknya adalah tidak ada pendaftaran dan pencatatan ekspor melalui pabean, dan diduga hasil perikanan dibawa langsung ke kota lain (Makassar dan Surabaya) untuk diekspor.

Hasil Pantauan

Dengan ada atau pun tidak adanya kebijakan pemerintah, ditengarai masih terdapat barang yang diekspor secara ilegal yaitu barang mineral tambang, hasil perkebunan dan kehutanan, dan hasil perikanan. Modus ekspor barang tambang ilegal yang digunakan adalah memberitahukan jenis barang lain yang tidak sesuai dengan pemberitahuan pabean dan menggunakan nama eksportir/perusahaan lain. Hal ini terungkap dari penggagalan Kantor Bea Cukai Tanjung Priok terhadap 37 kontainer mineral bahan tambang berukuran 20 feet (diantaranya 18 kontainer bijih krom, 14 kontainer biji nikel dan 2 kontainer zeolit) dari Sulawesi Tenggara yang akan diekspor secara ilegal (5 November 2014). 

Modus yang dipakai adalah permintaan ijin kepada pabean lokal dengan ijim jual antar pulau melalui pelabuhan-pelabuhan kecil atau pelabuhan tikus (yang terletak di berbagai daerah di sekitar tempat pengolahan nikel di Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Konawe Utara, Konawe Selatan dan Bombana), sehingga tidak tercatat besarannya. Upaya yang dilakukan oleh Kantor Bea Cukai Kendari (KPPBC Tipe A3) memiliki keterbatasan melakukan pengecekan dan monitoring. 

Modus serupa juga terjadi pada hasil perkebunan dan kehutanan, dimana isi dokumen dengan fisik tidak sesuai. Contohnya, isi fisik yang seharusnya 21 m3, di dokumen hanya ditulis 19 m3. Selain itu dokumen yang menyertai adalah FAKO (Faktur Angkutan Kayu Olahan), seharusnya SKAU (Surat Keterangan Asal Usul) atau SAP (Surat Angkutan Pengganti). 

Terkait dengan pengawasan terhadap peredaran barang dan jasa, ditemukan banyak barang beredar hasil impor ilegal yaitu pakaian bekas dan barang elektronik. Hasil pengawasan bea cukai ditemukan dan dilakukan penindakan terhadap masuknya pita cukai, rokok dan minuman keras ilegal.

Pantauan Barang Beredar Khususnya Ekspor Impor Ilegal di Provinsi Sulawesi Tenggara



Potensi

Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai penduduk berjumlah 2.720.713 jiwa, dengan luas wilayah daratan 38.140 km2 atau 28% dan 114.879 km2 wilayah laut atau 72%, terdiri dari 651 pulau dan panjang garis pantai 1.740 Km, ini terdiri dari 12 kabupaten dan 2 kota. Potensi utama sumberdaya alam diantaranya Nikel (kandungan 97,4 M Ton dan harga 48.000 T); Aspal (Luas 30.000 Ha dan cadangan 680.747.000 Ton); Emas (Cadangan 1.125 M Gram), Kakao (Luas 249.234 Ha; Produksi 161.064 Ton), Jambu Mete (119.357 Ha; 14.310 Ton), Kayu Jati dan Rimba (89.294 M3); Rotan (9.236 M3); Perikanan Laut (produksi 135.446 Ton) (Data olahan BPS 2014 dan BPMD Sultra). 

Pusat-Pusat Industri diantaranya Pusat Industri Pertambangan Nikel Kolaka, Kolaka Utara, Bombana, Konawe dan Konawe Utara, Pusat Industri Pertambangan Aspal Lasalimu, Pusat Industri Kakao Ladongi, Pusat Pengembangan Kelautan dan Perikanan Wawonii. 

Pengusahaan pertambangan saat ini dilakukan oleh 3 (tiga) perusahaan raksasa yaitu PT. Antam, PT. INCO, dan PT. Rio Tinto dan ratusan perusahaan pemegang kuasa pertambangan eksplorasi maupun eksploitasi pertambangan nikel. Selain itu terdapat puluhan pemegang ijin pengusahaan pertambangan lainnya. Dalam menunjang produktifitas dan logistik barang, terdapat 22 pelabuhan laut dan 9 pelabuhan/dermaga khusus dan 5 bandara.


Kondisi Perdagangan


PDRB Sulawesi tenggara tahun 2013 sebesar Rp. 40,77 Triliun, sementara berdasarkan harga kontan PDRB Sulawesi Tenggara tercatat Rp. 15,04 Triliun. Berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dari Bea dan Cukai, komoditas andalan Sulawesi Tenggara antara lain Biji Nikel, Besi dan Baja serta bermacam hasil laut, negara tujuan ekspor tersebar pada benua Asia, Australia, hingga Eropa. Kegiatan impor antara lain dari komoditi bahan bakar mineral, produk keramik, barang dari besi dan baja, mesin dan pesawat mekanik serta kapal laut dan bangunan terapung. 

Volume ekspor Tahun 2013 sebesar 32.086.631.620 Ton dengan Nilai sebesar 975.891.380 USD. Jumlah tersebut mengalami kenaikan volume tapi penurunan nilai dibandingkan tahun 2012 sebesar 26.541.027.050 Ton dengan Nilai sebesar 1.060.589.940 USD (Data BPS 2014). Volume impor Tahun 2013 sebesar 465.410.563.000 Ton dengan Nilai sebesar 497.879.715 USD. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2012 sebesar 284.614.918.000 Ton dengan Nilai sebesar 318.191.692 USD (Data BPS 2014). 

Melalui Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RJPMD) bahwa pengelolaan bahan galian mineral diharapkan dapat menjadi penggerak utama pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, secara sustainable, memperhatikan kelestarian lingkungan serta memberikan kontribusi bagi penerimaan daerah; 

Dalam rangka peningkatan nilai tambah dan multiplier effect, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah mewajibkan bahan galian yang diekspor dalam bentuk konsentrat dengan kadar yang jelas serta terlebih dulu dilakukan pengolahan. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara atau Minerba mengenai kewajiban membangun smelter. Dampaknya adalah penghentian kegiatan ekspor barang mineral tambang; 

Kegiatan ekspor hasil perikanan di Sulawesi Tenggara juga terhenti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 56 tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Negara Republik Indonesia yang kemudian meluas dengan diterbitkannya Surat Edaran Dirjen Perikanan Budidaya Nomor 6672/DPB/TU.210.05/XI/2014 tentang Moratorium Surat Izin Pengangkut Ikan (SIKPI) di Bidang Budidaya. Dampaknya adalah tidak ada pendaftaran dan pencatatan ekspor melalui pabean, dan diduga hasil perikanan dibawa langsung ke kota lain (Makassar dan Surabaya) untuk diekspor.

Hasil Pantauan

Dengan ada atau pun tidak adanya kebijakan pemerintah, ditengarai masih terdapat barang yang diekspor secara ilegal yaitu barang mineral tambang, hasil perkebunan dan kehutanan, dan hasil perikanan. Modus ekspor barang tambang ilegal yang digunakan adalah memberitahukan jenis barang lain yang tidak sesuai dengan pemberitahuan pabean dan menggunakan nama eksportir/perusahaan lain. Hal ini terungkap dari penggagalan Kantor Bea Cukai Tanjung Priok terhadap 37 kontainer mineral bahan tambang berukuran 20 feet (diantaranya 18 kontainer bijih krom, 14 kontainer biji nikel dan 2 kontainer zeolit) dari Sulawesi Tenggara yang akan diekspor secara ilegal (5 November 2014). 

Modus yang dipakai adalah permintaan ijin kepada pabean lokal dengan ijim jual antar pulau melalui pelabuhan-pelabuhan kecil atau pelabuhan tikus (yang terletak di berbagai daerah di sekitar tempat pengolahan nikel di Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Konawe Utara, Konawe Selatan dan Bombana), sehingga tidak tercatat besarannya. Upaya yang dilakukan oleh Kantor Bea Cukai Kendari (KPPBC Tipe A3) memiliki keterbatasan melakukan pengecekan dan monitoring. 

Modus serupa juga terjadi pada hasil perkebunan dan kehutanan, dimana isi dokumen dengan fisik tidak sesuai. Contohnya, isi fisik yang seharusnya 21 m3, di dokumen hanya ditulis 19 m3. Selain itu dokumen yang menyertai adalah FAKO (Faktur Angkutan Kayu Olahan), seharusnya SKAU (Surat Keterangan Asal Usul) atau SAP (Surat Angkutan Pengganti). 

Terkait dengan pengawasan terhadap peredaran barang dan jasa, ditemukan banyak barang beredar hasil impor ilegal yaitu pakaian bekas dan barang elektronik. Hasil pengawasan bea cukai ditemukan dan dilakukan penindakan terhadap masuknya pita cukai, rokok dan minuman keras ilegal.